KEHIDUPAN SUKU DAYAK KENYAH DAN MODANG DEWASA INI Inventarisasi Sebuah Proses Pemiskinan

Oleh :
Franky Raden

Daerah Suku Dayak Kenyah dan Modang berada di wilayah Kecamatan Ancalong, dengan 12 perkampungan yang letaknya memanjang di sebelah kiri Sungai Kelinjau, anak Sungai Mahakam. Konon Suku Kenyah itu berasal dari daerah yang terisolir di pegunungan Apokayah, Kalimantan Timur. Suku Kenyah dan Modang awalnya satu suku, namun semua berubah setelah adanya pengarug agama kristian tahhun ’30-an oleh misionaris Belanda. Mereka yang memeluk agama baru memutuskan untuk meninggalkan daerah asalnya dan demi memenuhi kebutuhan baru akibat mulai masuknya informasi. Sebuah gebrakan mental yang luar biasa dalam diri mereka karena berani keluar dari lingkungan alam mereka tanpa mempunyai gambaran sama sekali. Ini awal dari proses awal pemiskinanan yang menggerogoti sisi kehidupan mereka.
Kejutan sosial paling dahsyat sejak mereka keluar dari daerah asalnya adalah dari sektor ekonomi. Kepala keluarga rata-rata menghasilkan 200-400 bek padi ‘a 400-600 rp. Mereka sangat bergantung pada perahu pedagang dengan tengkulak-tengkulak dari kota atau kecamatan setempat yang mempermainan harga pasar. Belum lagi, pada masa sungai kering, pemilik warung-warung pun memperburuk kondisi perekonomian orang-orang dayak karena menjual barang dan membeli hasil panen penduduk dengan harga yang sangat tidak menguntungkan mereka. Akibatnya, penjualan hasil pertanian penduduk dayak menjadi tidak berarti dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Disamping itu, Sektor kebudayaan dalam kehidupan suku dayak pun mengalami kegoncangan. Fenomena yang menyolok dalam masalah ini adalah musnahnya Lamin. Lamin yang merupakanmanifestasi dari kata pemerintahan serta merupakan titik sentral dari aktivitas kehidupan mereka dalam ruang penghayatan kebersamaan yang eksistensial, akhirnya teredusir menjadi bangunan megah yang mati karena setiap keluarga saat ini memiliki rumahnya sendiri-sendiri. Dimensi religius serta nilai-nilai sosial dan peristiwa kesenian yan tadinya berjalan sehari-hari dalam aktivitas kehidupan merekan pun kini tergilas oleh orientasi ideal yang berlandaskan sistem nilai kebudayaan kota.
Dari sini jelas bahwa proses pemiskinan yang mereka alami adalah proses pemiskinan nilai secara keseluruhan di tiap sisi kehidupan, bukan hanya masalah kemiskinan yang umumnya diidentifisir dai sektor ekonomi. Pola perilaku konsumtif yang disodorkan masyarakat kota dan ketidakmampuan mereka untuk memiliki tingkat kehidupan material ini menyadarkan bahwa mereka adalah masyarakat miskin. Mereka tidak memiliki barang-barang seperti jam tangan, mesin jahit, radio, tape-recoder bahkan tas dan sepatu yang mereka piker layak untuk dimiliki padahal dahulu sama sekali tidak mereka kenal dan mereka butuhakan. Kemudian mereka menjual kebuadayaan mereka yang laku kepada orang kota. Titik ekstrimnya mereka menjadi pengemis dihadapan turis-turis asing seperti yang terjadi pada penduduk Nias dan Trunyan (Bali).
Secara ekstrim dapat dikatakan bahwa yang terjadi pada suku dayak saat ini tidak lain dari sebuah proses pemusnahan eksistensi sekelompok manusia dalam dimensi masalah kultural. Ini yang menyeret mereka ke dalam bencana yang lebih tragis jika dibandingkan dengan kemiskinan yang terjadi di beberapa desa di Bali atau Jawa dimana mereka masih dapat bergerak dalam kerangka kehidupan nilai-nilai budaya mereka sendiri meskipun tingkat kehidupan ekonomi mereka sangat rendah.
Peletakkan masalah untuk masalah suku dayak ini adalah bagaimana sekelompok manusia dapat hidup mandiri didalam ruang gerak kultur mereka sendiri. Apa yang disebut dengan Ketahanan Nasional harus dimengerti sebai inner-security bangsa Indonesia dalam ruang gerak kultur mereka masing-masing, bukan hanya ketahanan lapisan luar strategi ekonomi, politik atau pemerintahan.
Lowongan munculnya komplikasi-komplikasi dalam kultural bangsa sendiri disebabkan karena tidak adanya kesiapan dana pengetahuan akan adanya teori tentang sistem politik bernegara serta kurangnya kesadaran dalam dimensi nilai-nilai kultural, sementara berjuta manusia selama beribu tahun nyata-nyata hidup mandiri diatas nilai-nilai tersebut. Ironisnya dalang dari tragedi ini adalah diri sendiri yang sebagian diwakili oleh pemerintah atau orang-orang yang memiliki otoritas. Misalnya untuk pendapatan Negara lewat jalur yang bernama turisme. Melalui turisme ini sebenarnya kita menjual bangsa sendiri, seperi suku-suku Nias, Dayak dan lai-lain. Mereka harus dihadapkan pada suatu jaringan kehidupan yang modern serta serba kelimpahan materi. Inilah yang mebuat anak di Nias dan Trunyan mendadak berubah menjadi pengemis dan mengejar turis-turis asing.
Terciptanya semua masalah itu, baik yang terjadi secara mikro di desa ataupun secara makro di Negara ini membuktikan bahwa masyarakat kita masih berada dalam kondisi arkhanis, tidak ada yang superior antara yang satu dengan yang lainnya. Disini penulis mengajak bagaimana cara menembus kondisi ini. Di satu letak perbedaan kita dengan masyarakat Dayak, Nias dan Bali. Kita bisa berefleksi untuk mencapai suatu kesadaran menyeluruhakan masalah-masalah yang kita hadapi. Pada kenyataannya, kita berada pada posisi otoritas, yang arinya kita bisa mengerem proses itu kalau kita menyadari bahayanya. Sekarang masalahnya adalah bagaimana membawa dan memanfaatkan semua posisidan kemungkinan itu untuk kepentingan Negara dan 140 juta manusia Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PRAKTIKUM MK. IKHTIOLOGI FUNGSIONAL ANATOMI DAN MORFOLOGI IKAN

Pengertian Biota Air Tawar, Jenis-Jenis dan Peran Biota Air Tawar, Bahan Organik dan Nutrien bagi Biota Air Tawar, Rantai Makanan Ekosistem Biota Air Tawar, dan Penyebab Kelangkaan Biota Air Tawar dari Pemicu

BUDIDAYA IKAN KONSUMSI